Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
.: Home > Artikel

Homepage

Cermin dari Ranting dan Cabang Muhammadiyah untuk Indonesia Yang Tercerahkan dan Berkemajuan

.: Home > Artikel > Lembaga
20 Januari 2016 10:59 WIB
Dibaca: 3232
Penulis : Dr Phil Ahmad-Norma Permata, MA, (Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PP Muhammadiyah)

Selama ini publik sudah cukup mafhum dengan kontribusi Muhammadiyah dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara: mulai dari KH Ahmad Dahlan, KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Sudirman, Kasman Singodimejo, Ir Djuanda, hingga Amien Rais, dan A Syafii Maarif.

Namun sebenarnya kontribusi Muhammadiyah tidak hanya terbatas pada tokoh-tokoh dan kegiatan berskala besar, melainkan juga ke akar rumput yang jauh dari liputan media. Di seluruh pelosok Indonesia lebih dari dua belas ribu PRM dan lebih dari tiga ribu PCM ikut bergerak melakukan perbaikan dan penataan kehidupan, baik di internal umat Islam maupun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Mendalami dinamika kehidupan akar rumput Muhammadiyah akan memberikan banyak pelajaran yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia di tengah perkembangan kehidupan yang makin kompleks.

 

Pasang Surut Gerakan Akar Rumput
Pada awal sejarah Muhammadiyah, Ranting dan Cabang adalah kelompok-kelompok mandiri yang dibentuk oleh Pimpinan Muhammadiyah, maupun kelompok keagamaan yang sudah ada lalu secara sukarela bergabung dengan Muhammadiyah, sehingga memiliki corak yang beragam sesuai dengan konteks lokal.

Di beberapa wilayah, Ranting dan Cabang Muhammadiyah berkembang di kalangan para saudagar dan pedagang, seperti di Jatinom-Klaten atau Pekajangan-Pekalongan di Jawa Tengah, serta berbagai daerah terutama di kalangan perantau Minang mulai dari Sulawesi Selatan hingga NTB, bahkan NTT. Di tempat lain, seperti Garut Jawa Barat, atau Lamongan Jawa Timur, Muhammadiyah berkembang di kalangan ulama dan pesantren. Sementara di tempat lain Muhammadiyah banyak dikembangkan oleh para profesional seperti pegawai dan guru.

Namun, karena tuntutan tata-kelola organisasi, Muhammadiyah mulai melakukan berbagai penataan dan standarisasi mulai struktur Ranting (waktu itu disebut “Gerombolan”) dan Cabang, kepengurusan dan pemilihan pimpinan (Congres XIX di Minangkabau 1930), hingga penyeragaman pengelolaan dan kurikulum sekolah Muhammadiyah (Muktamar ke 34 di Yogyakarta 1959). Pelan namun pasti kondisi ini menjadikan program dan kinerja Ranting dan Cabang semakin homogen.
Penataan ini menjadikan Muhammadiyah lebih tertib, efektif dan efisien. Namun di saat yang sama melemahkan kemampuan Ranting dan Cabang dalam merespon dinamika dan perkembangan yang muncul dalam konteks lokal. Akibatnya, gerak Ranting dan Cabang lebih banyak menunggu petunjuk dari Pusat, serta melihat program lebih sebagai kewajiban dan bukan kebutuhan.
Puncaknya adalah pergantian rezim Orde Baru tahun 1998, ketika berbagai organisasi Islam baru bermunculan, dan mulai terjadi gesekan dan bahkan konflik, karena ruang geraknya berhimpitan dengan Muhammadiyah. Mulailah tersiar beragam berita dan cerita tentang pimpinan Ranting atau Cabang mengundurkan diri karena tidak sanggup melanjutkan perjuangan, atau mengundurkan diri dari keanggotaan Muhammadiyah karena merasa tidak cocok lagi, bahkan keluar dari Muhammadiyah sambil membawa jamaahnya pindah ke organisasi lain karena ada kesempatan yang lebih menjanjikan.

Kondisi ini memunculkan keprihatinan di seluruh jajaran pimpinan Persyarikatan, dan menjadi isu yang mengemuka pada Muktamar ke-46 tahun 2005 dan dilanjutkan dengan Muktamar ke-47 di Yogyakarta tahun 2010 dengan pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) sebagai unit yang mendapatkan mandat menggerakkan potensi dan sumberdaya Persyarikatan guna pemberdayaan organisasi di level akar rumput.

Selama kurun 2010-2015 LPCR sudah melakukan berbagai program, mulai dari pendataan dan pemetaan kondisi Ranting dan Cabang, Rakor dan Raker baik nasional, Regional, hingga Wilayah, serta berbagai lokakarya dan pelatihan mulai dari organisasi, kepemimpinan, hingga partisipasi pembangunan Desa. Hasilnya, sudah mulai terlihat peta persoalan sesuai konteks dan karakter daerah dan wilayah, adanya paket-paket program dan kerjasama pemberdayaan termasuk kegiatan terutama antara persyarikatan dan AUM, serta profil Ranting dan Cabang unggulan dan percontohan sebagai model untuk direpli­kasi, sehingga kejayaan Ranting dan Cabang sebagai ujung tombak Persyarikatan dapat segera dikembalikan.

 

Inspirasi dari Ranting dan Cabang Unggulan
Menarik untuk dicatat bahwa di tengah kemerosotan kondisi Persyarikatan di akar rumput, sebenarnya masih sangat banyak Ranting dan Cabang yang aktif dan inspiratif dalam keberhasilan menyelenggarakan dakwah, maupun kecerdikan dalam memilih strategi dalam berdakwah.

Sedikit di antaranya, dari arah barat, di Medan Sumatera Utara ada Cabang Sidorame yang berhasil mengembangkan sekolah unggulan, di Jawa Barat ada Cabang Cileungsi Kab. Bogor, Sukajadi Bandung, Ranting Gondrong Kota Tangerang, Sumbersari Kab. Bandung. Di Jawa Tengah ada Ranting Plompong Brebes, Tamanagung Magelang, dan Longkeyang Pemalang; serta Cabang Pekajangan Pekalongan, Gombong Kebumen. Di DIY ada Ranting Nitikan, Warung Boto, dan Jogokaryan. Di Jawa Timur ada Cabang Krembangan Surabaya yang fenomenal dengan dakwah di lingkungan lokalisasi; di Kalimantan ada Ranting Bukit Pariaman Kab. Kukar, dan Ranting Muhajirin di Banjarmasin. Sementara di Makassar ada Cabang Tello yang berhasil meramu dakwah dengan ilmu manajemen modern.

Masing-masing Ranting dan Cabang unggulan di atas memiliki banyak keunggulan yang layak dijadikan contoh dan inspirasi, bukan hanya oleh kalangan Muhammadiyah, melainkan juga untuk kehidupan berbangsa secara luas, karena keunggulan dan keberhasilan mereka sejatinya mencerminkan dan mewakili misi dan semangat dakwah Muhammadiyah. Paling tidak ada lima poin yang bisa menjadi catatan bersama:

Pertama, kesalihan dan keikhlasan. Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin bertopang pada biaya dan pertarungan kepentingan, yang bahkan juga terjadi di lingkungan Persyarikatan, serta kehidupan agama yang semarak di media massa namun kental dengan aura “pamer” bahkan komersial, pimpinan Ranting dan Cabang menjadi benteng terakhir Muhammadiyah bisa menyandarkan visi tentang amal shalih dan keikhlasan. Karena aktivisme di level ini, suka atau terpaksa, orang akan lebih banyak memberi ketimbang menerima. Dapat dikatakan, pimpinan Muhammadiyah di level ini punya peluang lebih besar masuk surga dibanding pimpinan pada level di atasnya.

Kedua, kepedulian dan komitmen keberpihakan. Barangkali untuk peduli dengan penderitaan sesama bukanlah sebuah hal yang sulit, sebagaimana banyak dilakukan para pejabat di iklan layanan sosial atau orang banyak di media-media sosial. Namun untuk peduli sekaligus memiliki komitmen keberpihakan, bukanlah perkara mudah. Misalnya, mungkin untuk saat ini banyak yang ingin bergabung dengan PCM Krembangan Surabaya yang sudah punya reputasi karena berhasil berdakwah di lokalisasi. Namun ketika di awal perjuangan, menghadapi tantangan, cemoohan, dan godaan, hanya segelintir yang sanggup menjalani.

Ketiga, kepemimpinan dan ketauladanan. Dua kata ini sepertinya mulai hilang dari kehidupan kolektif kita sebagai bangsa. Kita punya banyak pejabat, politisi, publik figur, namun miskin pimpinan apalagi tauladan. Dalam kondisi seperti ini Ranting dan Cabang Muhammadiyah merupakan oase di mana kepemimpinan dan keteladanan menjadi menu keseharian. Dalam kerja sukarela, pimpinan Ranting dan Cabang hanya dapat menggerakkan orang lain jika mereka sendiri melakukannya terlebih dahulu, dan bersedia menanggung bagian lebih banyak—seperti pendiri Ranting Sumbersari yang meski sudah udzur (90+) namun selalu berusaha dapat hadir dalam shalat bersama jamaah. Mendorong para pejabat dan selebrita berkunjung ke Ranting dan Cabang Muhammadiyah barangkali dapat menjadi obat jiwa untuk mengembalikan kesadaran tentang apa itu kepemimpinan dan ketauladanan.

Keempat, kemandirian dan keteguhan. Semua Ranting dan Cabang Muhammadiyah unggulan merupakan komunitas yang mandiri, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Mereka bukan hanya orang yang ikhlas namun juga istiqamah dalam menjalankan perjuangan. Komodifikasi (menukar hal-hal simbolik dengan materi) bukan tradisi di Ranting dan Cabang Muhammadiyah, dan kelompok unggulan di atas meski sudah memiliki pengikut, prestasi dan reputasi, tidak tertarik untuk menukarkannya dengan materi atau posisi, seperti Ketua Ranting Gondrong yang memilih mundur dari jabatan Kepala Desa untuk berkhidmat di Ranting Muhammadiyah.

Kelima, melayani dan memberdayakan. Ranting dan Cabang unggulan Muhammadiyah berkembang bukan dengan mengambil dari lingkungan, melainkan dengan memberi. Cabang Cileungsi lahir di tengah masyarakat yang tidak ramah dengan Muhammadiyah, namun bisa tumbuh berkembang karena mengedepankan kebermanfaatan dengan mendirikan sekolah dan berbagai pemberdayaan, sehingga masyarakat dapat menerima karena sudah membuktikan bahwa Muhammadiyah hadir untuk kebaikan mereka.

Ranting dan Cabang merupakan mutiara bagi organisasi maupun ruh perjuangan Muhammadiyah, namun masih banyak terabaikan bahkan terlupakan. Dalam catatan LPCR, hampir semua PDM di seluruh PWM tidak memiliki data yang valid dan update mengenai kondisi Ranting dan Cabang yang dimiliki. Sehingga bisa dipastikan tidak ada program yang sistematis untuk pembinaan dan pemberdayaan. Ke depan, perlu menjadi perhatian semua jajaran pimpinan bahwa memperhatikan dan memberdayakan Ranting dan Cabang bukan hanya sebagai program organisasi, melainkan sebagai upaya merawat ruang di mana kita dapat menjernihkan nurani dan menguatkan semangat perjuangan.•


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website